Ada masa ketika saya merasa perlu merapikan ulang cara memahami dunia, terutama manusia. Terlalu banyak perubahan yang terjadi secara bersamaan, dan saya butuh cara pandang yang lebih solid untuk menempatkan diri di tengah gilanya pergerakan maju kembang zaman.

Dalam situasi seperti itu saya putuskan membaca tiga buku Yuval Noah Harari. Urutannya tidak biasa, karena saya mulai dari Neksus (2024), lalu beralih ke Sapiens (2011), dan terakhir Homo Deus (2015). Dalam masa tiga bulan, ketiga buku itu memberiku kerangka berpikir yang jauh lebih jelas tentang manusia, sejarah, dan masa depan teknologi.

Masuk lewat Neksus membuat saya langsung berhadapan dengan analisis Harari soal dunia modern yang diatur oleh data, algoritma, dan jaringan informasi. Sebagai seseorang yang memiliki latar pendidikan biologi sekaligus penggemar berat dunia komputer dan IT sejak masih di kampus sekitar tiga dekade yang lalu, pendekatan Harari terasa sangat familiar.

Cara ia menjelaskan interaksi antara informasi, perilaku manusia, dan tren sosial mirip dengan struktur sistem biologis yang saling terhubung. Di biologi, kita bicara soal sinyal antar sel, homeostasis, dan regulasi. Di dunia digital, kita bicara soal aliran data, algoritma rekomendasi, dan pola interaksi. Polanya sama, hanya medianya yang berbeda. Itu sebabnya Neksus bisa langsung dipahami tanpa perlu banyak membaca ulang. Dunia data bagi saya bukan sesuatu yang asing.

Ketika berpindah ke Sapiens, saya serasa mundur jauh ke fondasi sejarah manusia. Jika Neksus memberi peta zaman, Sapiens mengisi bagian “asal usul” yang menjelaskan mengapa manusia bisa mengembangkan sistem yang begitu kompleks. Lagi-lagi, latar belakang biologi sangat membantu. Revolusi kognitif, perubahan struktur otak, kemampuan berbahasa, dan evolusi kepercayaan adalah konsep yang sangat familiar.

Tetapi pesan yang paling kuat dari Sapiens bukan bagian biologinya, melainkan konsep realitas objektif, subjektif, dan intersubjektif. Harari menjelaskan bahwa sebagian besar struktur sosial manusia berdiri di ruang intersubjektif: wilayah kesepakatan kolektif yang sebenarnya tidak ada di alam, tetapi bisa menggerakkan seluruh peradaban manusia yang juga secara langsung tidak langsung mempengaruhi lingkungan hidupnya.

Penjelasan itu sangat masuk akal ketika dilihat dari kacamata ilmiah. Di biologi, organisme bertahan karena adaptasi terhadap lingkungan fisik. Di manusia, kita bertahan bukan hanya karena adaptasi fisik, tetapi karena kemampuan menciptakan cerita bersama yang memungkinkan kita bekerja dalam kelompok besar. Itulah yang membuat manusia berbeda dari spesies lain. Uang, negara, hukum, dan agama adalah contoh nyata bagaimana narasi kolektif bisa lebih berpengaruh daripada perubahan genetis. Selama membaca bagian ini, saya beberapa kali berhenti karena pola pikir lama terasa perlu diperbarui. Banyak hal yang saya anggap “nyata” ternyata bergantung pada keyakinan bersama, bukan pada keberadaan objektifnya.

Masuk ke Homo Deus, saya merasa ada kesinambungan logis antara masa lalu dan masa depan manusia. Homo Deus bukan tentang ramalan futuristik, tetapi tentang kecenderungan yang sedang berjalan. Harari menjelaskan bagaimana manusia beralih dari mengatasi perang, kelaparan dan wabah menuju ambisi meningkatkan kemampuan tubuh (Homo Deus: manusia super/manusia dewa) dan menciptakan kecerdasan non-biologis.

Bagi saya, membaca Homo Deus seperti melihat dua dunia yang saya sukai, biologi dan teknologi, bertemu di satu titik. AI, rekayasa genetika, dan data-driven behavior bukan hanya konsep abstrak; semuanya sudah masuk ke dalam kehidupan kita sehari-hari. Homo Deus membuat saya sadar bahwa masa depan yang dibicarakan Harari bukan lagi isu generasi berikutnya, melainkan isu yang sedang kita jalani sekarang.

Saya hanya membaca rangkuman 21 Lessons for the 21st Century (YNH, 2018), tetapi dari ringkasannya saya menangkap bahwa buku itu lebih fokus pada pentingnya kemampuan mental untuk hidup di dunia yang berubah cepat. Di situ Harari menekankan pentingnya kejernihan berpikir, kemampuan memahami bias, dan ketahanan menghadapi ketidakpastian. Saran yang relevan di zaman ketika informasi berlimpah tapi arah hidup sering tidak jelas.

Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Neksus, Sapiens, Homo Deus: Perspektif Baru Dalam Memahami Dinamika Manusia dan Zaman”, Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/ajuskoto/6927bc70c925c44a197ffad2/neksus-sapiens-homo-deus-perspektif-baru-dalam-memahami-dinamika-manusia-dan-zaman

Kreator: Rahmad Agus Koto

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulis opini Anda seputar isu terkini di Kompasiana.com